Follow The Child: Freedom With Boundaries
Rizka Amanda,S. Psi 24 Agustus 2021
Follow the child menjadi salah satu konsep penting yang perlu dipegang pada setiap tenaga pendidik terutama yang menjadikan Montessori sebagai salah satu pendekatannya. Dengan memposisikan anak menjadi pusat dalam proses pendidikan tidak hanya memberikan anak kesempatan untuk berkembang dan perlahan memahami kebutuhan dirinya sendiri, namun juga menjadi media bagi tenaga ajar untuk mempertajam skill observasi yang dimiliki. Dr. Maria Montessori memahami bahwa “children were not empty vessels” (Robin, 2021) yang artinya, anak secara naluriah sebenarnya sudah paham apa yang ia butuhkan. Simone Davies dalam bukunya yang berjudul The Montessori Toddler menjelaskan, “following the child means following their unique timeline, seeing where they are today, and not imposing our idea of what they should be learning when” (Davies, 2019). Namun, following the child tidak sama dengan menjadi permisif, membiarkan anak berbuat dan melakukan apapun yang diinginkan. Boundaries tetap harus diberikan dan dirancang guna menjamin keselamatan dan keamanan mereka dalam proses eksplorasi (Davies, 2019). Dalam kesempatan kali ini penulis akan membagikan sudut pandang dan pengalaman pribadi penulis melalui tulisan yang diberi judul Follow The Child: Freedom With Boundaries.
Bekerja sebagai tenaga pendidik di salah satu sekolah yang menggunakan Montessori sebagai metode atau pendekatan pendidikannya memberikan penulis banyak sudut pandang baru, pengalaman berlimpah, serta ilmu yang tidak menjadikan penulis puas dalam sekejap. Diberikan tanggung jawab untuk membimbing anak-anak yang menjejakkan kaki-kaki mungilnya ke Playtics Montessori membuat penulis semakin menyadari bahwa set a clear boundaries kepada anak adalah sebuah tantangan yang cukup tricky. Ketika dihadapkan oleh anak yang memiliki template dan cara belajar bahkan karakteristik yang serupa dengan penulis membuat penulis harus memutar otak bagaimana caranya untuk tetap mampu menjunjung konsep follow the child namun juga tetap mampu memberikan boundaries serta limit yang mampu anak pahami dan ikuti. Menurut Simone Davies dalam bukunya “toddlers learn best when they touch things, smell things, taste things, and see things.” (Davies, 2019). Simone juga mengatakan bahwa “toddlers live in the present moment.” (Davies, 2019). Dari kedua kalimat ini penulis kemudian mulai memahami bahwa kesulitan yang dialami penulis dalam
memberikan boundaries pada anak semata-mata dikarenakan penulis melupakan hal penting yang ada dalam karakteristik anak, yakni they’re simply just being curious and be mindful of who they are what they are in their present moment. Salah satu hal lainnya yang kemudian penulis pelajari dan pahami bahwa set the boundaries tidak bisa disegerakan apabila belum ada trust yang terjalin antara pemberi boundaries dan pihak yang diberikan boundaries. Trust harus bersifat dua arah. Pendidik percaya pada kemampuan anak dan tidak perlu melulu harus dipantau dalam proses eksplorasinya sehingga dari sini anak tumbuh trust-nya kepada pendidik bahwa ia diberikan kesempatan untuk bereskplorasi dengan aman. Penulis juga sadar penuh bahwa it’s easier to set boundaries when it comes to friends or colleagues but it is in fact difficult to set clear boundaries with toddlers.
Berdasarkan apa yang sudah penulis paparkan pada dua paragraf sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa follow the child tidak semata-mata menjadi permisif dan freedom with boundaries baru bisa terjalani apabila trust antara pendidik dan yang didik sudah terbentuk secara dua arah.
References:
Davies, S. (2019). The Montessori Toddler. New York: Workman Publishing.
Robin, C. (2021, May 26). Montessori Concept: What “follow the child” Means. Diambil dari themontessorifamily.com: https://themontessorifamily.com/montessori-concept-what-follow-the-child-means/