Everybody Is A GENIUS!

By Ms. Nadia Risda Veronica

Saya ingat kalimat ini saat saya duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama. Saat dimana perbedaan menjadi isu yang mulai diapresiasi dan mulai dipertimbangkan kita sebagai makhluk sosial. Dimana kita mulai mengembrace perbedaan satu sama lain, terlebih pada diri kita sendiri. Sebagai anak yang pernah dicap ‘bodoh’ saat Sekolah Dasar, membuat saya makin meragukan pemahaman ini apalagi harus mencoba membedah pernyataan tersebut. Untuk diusia muda, sulit bagi saya mendorong rasa percaya diri saya pada diri sendiri. Hal ini pun masih terus saya biasakan untuk akhirnya saya bisa terbiasa mempercayai diri saya.

Berjalannya waktu, saat saya berkuliah difakultas psikologi. Saya tersentak membaca buku dengan quote Albert Einstein yang bertuliskan “Everybody is genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its’s whole life believing that it is stupid”. Terkarang judge atau penilaian, membuat kita sulit  melihat sesuatu yang baik atau bahkan jenius pada situai dan momen hal itu terjadi. Ini sering terasa ketika kita mulai masuk kedalam lingkungan sosial seperti sekolah atau lingkungan bertentanga. Padahal tanpa kita sadari memberikan cap adalah hal yang mulai dilakukan khususnya orang tua kepada usia muda. Sering kali perilaku menilai atau men’cap’ ini dijadikan alat untuk memberi pelajaran (baik isinya buruk ataupun tidak) atau bahkan tanpa disadari ini perilaku yang terbentuk akibat trauma masa kecil. 

Pada bukunya The Secret of Childhood, Dokter Maria Montessori menjabarkan apa itu ‘spiritual embryo’. Penjabaran mengenai menariknya pertumbuhan yang sudah terjadi pada manusia sejak masih dalam kandungan. Para ibu yang merasakan kelekatan pada anaknya diusia kehamilan mampu merasakan perbedaan kekuatan atau durasi tendangan bayi saat dikandungan. Atau mungkin arti setiap tendangan atau pergeseran posisi bayi saat dikandungan, apa dia tengah dalam situasi senang atau merasa tidak nyaman diposisinya saat itu. Namun yang menarik dari situasi ini, apakah bayi sudah diajari cara menendang atau bagaimana gerakan menendang saat mereka sedang senang? Apakah bayi sudah diajari bagaimana mereka akan bertindak ketika lapar dan lain sebagainya? Pernahkan kita menanyakan hal ini?

Dokter Maria Montessori menjabarkan bagaimana setiap janin punya jiwa yang bisa berkehendak dan mampu menunjukkannya jika mereka mau. Seperti, bayi akan menangis ketika mereka kelaparan atau bayi akan merasa nyaman pada posisi tertelungkup hingga bisa tertidur. Perilaku itu semua menjadi kehendak yang mereka tunjukkan pada kita orang dewasa. Kehendak dan kemauan ini akhirnya dinilai dan dikategorikan oleh kita orang dewasa untuk memudahkan kita memahami apa arti dan maksudnya. Ya, disini kita yang mencoba untuk memahami anak. Dan hal ini sudah kita lakukan sedari mereka didalam kandungan. 

Pada proses memahami tentu ada masa dimana kita menilai atau men’cap’ seseorang dari perilakunya. Akan tetapi semua tidak berhenti disitu, ada proses setuju didalamnya. Dimana kita punya peluang untuk salah dan punya kewajiban untuk mendengarkan. Sepeti quotes Albert Einstein ‘if you judge a fish by its ability to climb a tree’, kita tidak bisa menilai seorang manusia hanya dari satu aspek. Begitu juga dengan anak atau bayi. Ketika mereka belum bisa menjelaskan perilakunya dengan Bahasa yang kita kuasai dan pahami, bukan berarti mereka tidak sesuai dengan apa yang kita nilai dan kategorikan. Untuk itu mulai banyak dokter kandungan atau psikologi anak yang menyarankan tiap ibu muda untuk berkomunikasi dengan janin atau bayi yang baru lahir. Mereka juga menyarankan bagaimana kita harusnya berkomunikasi; tidak dengan ‘baby talk’, mulai menanyakan perasaan atau situasinya saat itu, dan mulai memperbanyak gesture sebagai bentuk komunikasi alternatif saat mereka belum menunjukkan kemampuan berbicaranya. 

Itu semua memudahkan kita tentu memahami bayi yang baru lahir. Namun bagaimana ketika anak itu mulai bertumbuh dimasa kanak-kanak atau remaja? Cara memahami kita tentu berubah sesuai dengan karakteristik tiap anak, akan tetapi tujuan dan prosesnya akan selalu sama. Kita harus memahami akan ada peluang penolakan atau ketidak setujuan antara orang tua dan anak. Kembali lagi saya ingatkan, mereka belum berbicara seperti apa yang kita tahu.  Ada maksud yang luas dari apa yang mereka lakukan didalam tubuh dan kemampuan yang terbatas. Oleh sebab itu, kemampuan yang misterius ini tidak boleh hanya di ‘cap’ atau di jugde hanya dari 50 atau 1000 aspek yang kita tahu. Sering kali mudah bagi kita orang tua untuk memaksa anak berlaku atau memahami apa yang kita tahu. Kita jarang menyesuaikan pemahaman kita untuk mendengar dan menerima perilaku yang anak kita lakukan saat usianya mulai bertumbuh. 

Konsep ‘spiritual embryo’ ini memberikan pandangan yang berbeda untuk kita melihat tumbuh kembang anak dari sisi yang belum banyak diterapkan. Orang tua masih merasa anak adalah haknya dan kepunyaannya, seolah anak itu benda yang hanya bisa dibentuk oleh orang tua. Namun kita lupa kehendak anak untuk memilih dan melakukan sudah terjadi semenjak mereka masih janin. Lalu mengapa kita lebih memaklumi kesalahan kita dalam menduga perilaku anak saat mereka masih bayi dibandingkan saat mereka tumbuh ke masa kanak-kanak hingga dewasa? Bukan kah kita harus makin memahami peluang kesalahan kita dalam menduga dan memahami anak kita saat mereka sudah masa kanak-kanak dan seterusnya? Bukan kah dimasa itu anak sudah lebih mampu membentuk maunya dengan Bahasa yang kita bisa lebih pahami, sehingga akan banyak kemuan kemauan yang ingin mereka capai? 

Sering saya jumpai orang tua ya takut atau bahkan mau melebihi terori perkembangan yang banyak dikemukakan. Banyak orang tua yang terpaku untuk mendorong anak memenuhi apa yang harusnya sudah terjadi diusianya yang belum mereka capai. Buat saya teori perkembangan sama dengan cap atau kategori yang dibuat untuk memudahkan kita memahami tumbuh kembang anak. Montessori percaya adanya dorongan tiap anak di usianya untuk mencapai suatu tahap. Hal ini harusnya cukup memberi angin segar untuk orangtua yang sering frustasi dengan expectasi dan realita tumbuh kembang anaknya. Namun Montessori juga percaya dorongan itu harus diaktifkan dengan lingkungan yang sesuai dan kesiapan orangtua dalam menjadi orang tua. Sehingga kesempatan kita untuk memahami anak lebih terbuka lebar untuk akhirnya kita melihat bagaimana respon anak terhadap lingkungan dan kesiapa orang tua yang sudah ada. 

So, everybody is genius. But u must be the third eye to see it clearly. And most importantly you must need a good eye to see it. Jadi buat saya ada banyak proses yang harus dilalui orang dewasa ketika ingin mengambil peran sebagai orang tua. Karna tanggung jawab untuk memahami banyaknya peluang kesalahan yang akan diterima selama berperoses untuk memahami anak, bukan menjadi keahlian banyak orang. Namun semua orang bisa belajar untuk itu. Practice makes u perfect. 

Previous
Previous

Spiritual Embryo

Next
Next

Spiritual Embryo